Tahukah Anda dengan sebuah buku yang berjudul “Itu Dia?” Buku karya Pdt.
I.S. Kijne ini pernah diterbitkan atas Kerjasama Pemerintah Provinsi
Papua dan Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua, dalam rangka pelaksanaan
program pemberantasan buta aksara di Papua. Buku “Itu Dia” Jilid I, II
III dan IV (Kota Mas), ditambah dengan sebuah buku Pedoman untuk Guru
serta sebuah buku yang berjudul “Mana Dia” (oleh Gr. Jonathan Deda),
khusus untuk Dasar-Dasar Pengetahuan Berhitung Sekolah Peradaban.
Buku-buku tersebut kebetulan ada pada tangan saya, karena saya pernah
bersama-sama dengan Departemen Pekabaran Injil (DPI) Sinode GKI Di Tanah
Papua, dalam pelaksanaan program Pemberantasan Buta Aksara, melalui
pembukaan Sekolah-Sekolah Peradaban di beberapa Klasis GKI Di Tanah
Papua, seperti di Klasis GKI Mamberamo, Hatam Moile Meach, Ransiki,
Bintuni dan Wondama, serta ada beberapa klasis lainnya.
Sejak 2007-2008, wilayah VII Sinode GKI Di Tanah Papua, meliputi Klasis Manokwari, Hatam Moile Meach, Ransiki, Bintuni dan Wondama, telah didirikan beberapa Sekolah Peradaban yang beroperasi mendidik orang-orang Papua, baik yang masih usia dini dan yang sudah berusia dewasa tetapi belum bisa membaca, untuk diusahan bisa membaca dan berhitung. Upaya tersebut terlihat begitu membantu masyarakat Papua di berbagai sudut kampung. Sampai saat ini, menurut yang saya ketahui, tempat dimana saya pernah mengabdi (Klasis HMM), sudah ada beberapa anggota jemaat saya yang sudah bisa membaca, berhitung dan bisa menyanyikan nyanyian Suara Gembira dan Seruling Mas. Ini tidak terlepas dari peranan Sekolah Peradaban yang pernah dibangun oleh I.S. Kijne di masa lalu, dan dibangun kembali oleh GKI Di Tanah Papua.
Di masa lalu, Kijne menerapkan metode pendekatan budaya untuk menterjemahkan maksud dan tujuan pendidikannya di tanah Papua. Budaya merupakan potensi primer untuk pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) Papua. Sepanjang pengabdiannya yang dimulai sejak di Mansinam, Miei, Serui dan Holandia, banyak anak-anak Papua yang telah berhasil-guna bagi negerinya sendiri. Semuanya ini karena Sekolah Peradaban yang pernah dibentuknya. Berbagai metode ia rumuskan untuk dipakai dalam sekolah-sekolah peradaban itu. Satu-satunya buku pelajaran yang dirumuskan Kijne dan dipakai oleh semua guru Sekolah Peradaban pada waktu lalu adalah “Itu Dia.” Selain buku-buku tersebut, Kijne juga menambahkan beberapa buku nyanyian seperti nyanyian “Seruling Mas dan Suara Gembira,” dan ditambah lagi sebuah buku cerita yang sungguh terkenal dan menyatuh dalam hati kalangan manusia Papua, yaitu buku“Kota Mas.” (Jilid IV buku “Itu Dia”)
Khususnya buku pelajaran “Itu Dia” Jilid I, II dan III karya I.S.
Kijne, telah diperbaiki Ny. Paula Mansa/Hoor dan dicetak sebanyak tiga
kali. Cetakan ketiga pada tahun 2003 dan telah didistribusikan ke
seluruh sekolah-sekolah peradaban di tanah Papua.
“Itu Dia”, apa itu? Artinya, apa yang dimaksud I.S Kijne dengan memberi
judul buku pelajaran ini dengan sebutan “Itu Dia”? Awalnya saya belum
tahu sama sekali konsep Kijne ini. Ya… maklum, saya bukan seorang murid
yang hidup di masanya. Tetapi jujur, saya adalah seorang murid didikan
dunia pendidikan Indonesia, amat kagum dan bangga kalau saya adalah
salah satu murid dari murid Kijne yang pernah mendidik saya menjadi
seorang yang sudah lebih bisa membaca. Andaikan pertanyaan ini diajukan
pada seorang murid Kijne, saya percaya dia akan lebih sanggup berbicara
hal tersebut dengan jelas dan memikat. Tetapi, tidak mengurangi rasa
hormat saya pada mereka, saya kepinggin menjelaskan apa latar belakang
sehingga I.S. Kijne menyebut kata “Itu Dia” sebagai nama dari buku
pelajaran sekolah-sekolah peradabannya di waktu lalu.
Sebagaimana telah disentil di atas bahwa Pdt. I.S. Kijne, dalam mendidik anak-anak Papua, selalu saja menggunakan elemen-elemen dan konsep budaya Papua. Salah satunya ialah memberi nama pada buku pelajarannya dengan sebutan “Itu Dia.” Kata “Itu Dia” diambil dari bahasa Biak “iriani” artinya “Itu Dia.” Dari manakah asal mula kata “ Itu Dia”? Di bawah ini saya sedikit mengutip penjelasan bapak Jan. H Ramandei (alm), dalam bukunya yang berjudul “Dari Samudranta ke Iriyan Jaya,” yang mana beliau menjelaskan tentang perubahan nama Papua ke Irian Barat. Bahwa kata “Iriane” diambil dari sebuah kisah mitos tua Koreri di kepulauan Biak, dengan tokoh utamanya Yawi Nusado atau yang dikenal Manseren Koreri. Ramandei menjelaskan tentang mitos versi cerita dari F.J.S. Rumainum seperti ini:
Sebagaimana telah disentil di atas bahwa Pdt. I.S. Kijne, dalam mendidik anak-anak Papua, selalu saja menggunakan elemen-elemen dan konsep budaya Papua. Salah satunya ialah memberi nama pada buku pelajarannya dengan sebutan “Itu Dia.” Kata “Itu Dia” diambil dari bahasa Biak “iriani” artinya “Itu Dia.” Dari manakah asal mula kata “ Itu Dia”? Di bawah ini saya sedikit mengutip penjelasan bapak Jan. H Ramandei (alm), dalam bukunya yang berjudul “Dari Samudranta ke Iriyan Jaya,” yang mana beliau menjelaskan tentang perubahan nama Papua ke Irian Barat. Bahwa kata “Iriane” diambil dari sebuah kisah mitos tua Koreri di kepulauan Biak, dengan tokoh utamanya Yawi Nusado atau yang dikenal Manseren Koreri. Ramandei menjelaskan tentang mitos versi cerita dari F.J.S. Rumainum seperti ini:
Ketika Manseren Koreri dengan anaknya tiba di Mandori, anaknya
bermain di pasir pantai, sedang sang surya yang sangat mempesonakan,
awan-awan yang melayang-layang di atas kepulauan Biak dan Padaido
(Schouten Eilanden), maka anaknya Manarbeuw bertanya pada bapak, tentang
negeri asal mereka yang baru saja mereka tinggalkan. Kira-kira arahnya
di sebelah timur. Oleh sebab itu, Manseren Koreri menjelaskan pada
anaknya “Sye Supiwa, Supi Orisar, Supi Orisan, Supi oridek,” sambil
menunjuk dengan tangannya ke arah timur. Karena anaknya tidak puas dan
ingin sesuatu yang pasti, maka ia bertanya ulang kepada bapaknya, sambil
tangannya menunjuk ke Utara dan terus ke Timur dan berkata: “Iriane?
(itukah?). Dengan serentak ayahnya menjawab “Iriani” artinya “Itu Di!”
“Demikianlah Pdt. I.S. Kijne mengutip bahasa itu untuk mengungkapkan
konsep pendidikan tentang kehidupan dari penduduk di pulau ini (Papua)
melalui satu kata saja yang merangkum seluruh eksistensi hidup orang
Papua di atas tanah ini. Buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah
Dasar pada masa Zending diberi nama, “Itu Dia,” Iriane-Iriani-Itu Dia,
mengandung sesuatu yang pasti. Buku itu sangat bermanfaat dalam
membentuk putera-puteri Papua untuk segera melek huruf,” demikian jelas
Jan Ramandei.
Jadi, nama buku pelajaran Sekolah Peradaban, karya Pdt. I.S. Kijne itu, diambil dari sebuah kata bahasa Biak dalam kisah mitos Koreri “Iriani” (Itu Dia), dipakai sebagai nama buku itu dengan sebutan “Itu Dia.” Memahami kata “Itu Dia” atau “Iriani” itu sangatlah berprinsip dengan jati diri manusia Papua. Buku pelajaran “Itu Dia”, tersirat penjelasan yang mendalam kepada orang lain di luar orang Papua, bahwa orang Papua adalah sama mampunya dengan orang (bangsa) lain; ia duduk sejajar dengan bangsa lain, ia mempunyai potensi, baik Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alamnya. Orang Papua tidak lagi terkebelakang, melainkan ia maju dan berkembang sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Orang Papua menjadi ras yang percaya dan mengakui Yesus Kristus, sebagai Tuhan dan Kepalanya, sama dengan umat percaya lainnya di dunia ini. Ini karena pendidikan. Hanya dengan pendididkan, manusia dan alam Papua diperhitungkan dunia, sehingga Indonesia dan dunia akan mengakui dan berkata kepadanya: “Itu Dia!”, Papua. Artinya, Papua adalah Papua; orang Papua adalah orang Papua dan bukan orang Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Maluku, dan sebagainya. Papua adalah Papua; tanah Papua adalah tanah Papua, ia bukan tanah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dls. Tetapi, Papua adalah Papua. “Itu Dia, Dia Papua!”
Jadi, nama buku pelajaran Sekolah Peradaban, karya Pdt. I.S. Kijne itu, diambil dari sebuah kata bahasa Biak dalam kisah mitos Koreri “Iriani” (Itu Dia), dipakai sebagai nama buku itu dengan sebutan “Itu Dia.” Memahami kata “Itu Dia” atau “Iriani” itu sangatlah berprinsip dengan jati diri manusia Papua. Buku pelajaran “Itu Dia”, tersirat penjelasan yang mendalam kepada orang lain di luar orang Papua, bahwa orang Papua adalah sama mampunya dengan orang (bangsa) lain; ia duduk sejajar dengan bangsa lain, ia mempunyai potensi, baik Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alamnya. Orang Papua tidak lagi terkebelakang, melainkan ia maju dan berkembang sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Orang Papua menjadi ras yang percaya dan mengakui Yesus Kristus, sebagai Tuhan dan Kepalanya, sama dengan umat percaya lainnya di dunia ini. Ini karena pendidikan. Hanya dengan pendididkan, manusia dan alam Papua diperhitungkan dunia, sehingga Indonesia dan dunia akan mengakui dan berkata kepadanya: “Itu Dia!”, Papua. Artinya, Papua adalah Papua; orang Papua adalah orang Papua dan bukan orang Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Maluku, dan sebagainya. Papua adalah Papua; tanah Papua adalah tanah Papua, ia bukan tanah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dls. Tetapi, Papua adalah Papua. “Itu Dia, Dia Papua!”
Semoga bermanfaat!!!
dirintis dari paschallist @ http://paschall-ab.blogspot.com/2012/07/buku-itu-dia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar